Sumber Gambar: Tahura Bandung
Kolom ini bukan hendak mencuri judul yang sama dengan sebuah buku karya Wardiman Djojonegoro: Sepanjang Jalan Kenangan. Atau mengutip dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi yang pernah menempati tangga nada musik di negara ini. Ini hanya kolom dengan genre simile yang saya tulis dalam beberapa bagian, berisi informasi masa lalu, kenangan sebagian kecil Sukabumi pada periode antara tahun 1980 sampai 1990.
Satu artikel dengan judul “Sukabumi dalam Ingatanku” telah dimuat oleh harian Radar Sukabumi pada 22 Maret 2022. Artikel ini hanya menyajikan gambaran umum Sukabumi di masa lalu dan keinginan liar penulis agar setiap kenangan tentang Sukabumi sebaiknya dicatat oleh warga Sukabumi sendiri.
Dapat dibayangkan, jika setengah dari generasi baby boomers dan gen-X menulis kisah-kisah mengenai Sukabumi di masa lalu, kemudian dicetak dan dikodifikasikan menjadi buku, saat ini kita akan menyaksikan tumpukan kisah orang Sukabumi serupa dengan bangunan setinggi 5-7 lantai.
Mengembalikan masa lalu dan menghidupkannya kembali di masa kini, bagi saya pribadi, akan menghasilkan sebuah cermin kisah. Apalagi, pada dasarnya, perjalanan hidup manusia ternyata lebih didominasi oleh paparan kisah.
Manusia modern menulis status di media sosial, sebenarnya sedang mengisahkan situasi dan alam pikiran dirinya kepada orang lain. Entah sudah berapa juta kisah telah mewarnai kehidupan manusia sejak fajar sejarah umat manusia terbit dalam kehidupan ini. Tak terhitung tentu saja.
Mengisahkan Sukabumi selama dua periode dari tahun 1980-1990 tentu akan menghasilkan kisah yang kental dengan subjektivitas karena dinarasikan oleh saya sebagai salah seorang yang pernah menjadi bagian dari kisah era ini.
Walakin dari sisi pembaca, saya akan mencoba menarasikan kisah-kisah Sukabumi pada era tersebut seobjektif mungkin, agar terhindar dari bias dan kesan mengada-ada. Generasi 80 dan 90an akan menjadi penyeimbang dalam kisah-kisah yang akan saya tuturkan.
Kecamatan Baros sampai akhir tahun 1990 masih bagian dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi sebelum masuk menjadi daerah pemekaran Pemerintah Kota Madya Sukabumi. Wilayah perdesaan ini menjadi sendi antara daerah urban perkotaan dengan rural perdesaan.
Batas kota di sebelah barat ditandai oleh sebuah tugu di Jalan Pelabuan II, seberang SMP Negeri 3 Kota Sukabumi. Sepanjang jalan besar ini ditumbuhi oleh pohon albasia dan mahoni berukuran tinggi dan besar. Saat musim kemarau, dedaunan kering berjatuhan, berserakan di sepanjang jalan, menghujani siapa saja yang sedang berdiri atau berjalan di sana. Suasana ini akan mengingatkan kita pada kondisi Eropa di musim gugur.
Jika harus jujur, di awal pembentukan Sukabumi sebelah utara oleh Pemerintah Hindia Belanda, daerah ini memang diproyeksikan agar situasi dan kondisinya memiliki ciri khas yang mirip dengan Eropa. Orang-orang Belanda masa lalu telah berusaha membangun kota-kota tempat tinggal atau tujuan mereka harus serupa dengan kota-kota yang ada di negaranya.
Ini memang masuk akal, untuk membuat diri kita kerasan tinggal di suatu tempat, syarat mutlak yang harus dimunculkan dalam penataan wilayah adalah waruga atau wujud sebuah kota harus mirip dengan tempat asal. Suhu Sukabumi sebelah utara yang sejuk juga menjadi alasan bagi Belanda untuk membangun koloni di sana.
Urat nadi masa lalu Sukabumi mengalirkan genetika atraksi alam melalui jalan-jalan besar yang digunakan oleh manusia. Sepanjang Jalan Pelabuan II dari Odeon sampai Cikembar ditumbuhi oleh pohon-pohon albasia dan mahoni berukuran tinggi dan besar.
Keberadaan pohon-pohon ini telah menjadi penyangga ketersediaan udara bersih, berkualitas, dan menstabilkan suhu sepanjang Jalan Pelabuan II. Hampir tidak ada pengrusakan pepohonan oleh ulah tangan manusia. Sampai pertengahan tahun 90-an, saya tidak pernah melihat papan pengumuman dan reklame dipasang dengan cara dipaku pada batang-batang pohon albasia dan mahoni pinggir jalan.
Musim kemarau bukan masalah serius pada masa itu. Masyarakat yang tinggal di sebelah selatan Gunung Pangrango, menghampar dari lereng Gunung Parang hingga Sungai Cimandiri tidak pernah mengalami kekurangan pasokan air yang disediakan oleh alam.
Keberadaan pohon-pohon besar di sepanjang jalan dan pepohonan yang memadati lahan-lahan terbuka hijau telah membantu wilayah ini sebagai daerah yang berkelimpahan dengan sumber daya mineral: air.
Jumlah angkutan umum masih dapat dihitung dengan jari. Akustik lingkungan yang tercipta pada saat itu memiliki ciri khas, gemuruh mesin kendaraan bermotor hanya melintas sesaat saja. Dalam terminologi Sunda disebutkan suara-suara ini hanya terdengar “hawar-hawar”, samar dan terdengar semakin menjauh.
Pada pohon-pohon albasia dan mahoni sepanjang pinggir Jalan Pelabuan II, terdengar akustik yang dihasilkan oleh alam begitu khas: suara tonggeret. Suara ini menjadi sinyal, alam sedang memasuki musim kemarau dan akan berlangsung cukup panjang. Walakin, suhu tetap stabil, sejuk dan dingin. Rata-rata suhu harian saat itu ada di kisaran angka 16-20 derajat.
Ketersediaan akustik lingkungan seperti ini menjadi alasan, manusia saat itu tidak rentan terserang penyakit seperti yang dialami saat ini. Keberadaan pohon albasia dan mahoni sepanjang Jalan Pelabuan II selain menghasilkan suasana indah, juga berdampak pada hal penting bagi kehidupan manusia yang baru mulai memasuki era modern.
Pertama, penelitian Universitas British Columbia menyebutkan orang-orang yang tinggal di daerah yang memiliki akustik alam yang baik cenderung hidup dalam keadaan tenang dan terhindar dari stres, kualitas tidur yang lebih baik, dan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
Saya sedang membicarakan fakta masa lalu, sebuah keluarga sederhana dengan jumlah anggota keluarga empat orang, kendati saat makan bersama keluarga hanya mengonsumsi dua butir telur, namun mereka tetap menunjukkan rasa gembira. Ini adalah contoh betapa kebahagiaan hadir dalam keluarga ini.
Kedua, penelitian oleh Universitas Michigan, Amerika Serikat menyebutkan ketersediaan akustik lingkungan alam ketika memasuki diri manusia setiap 30 menit dalam sehari akan meningkatkan imunitas atau daya tahan tubuh dan mengurangi risiko penyakit jantung.
Kita akan mendapatkan dua hal berbeda. Bayangkan, tiba-tiba tubuh kita kembali ke tahun 1980-an, duduk di atas bangku panjang di bawah pohon albasia dan mahoni pinggir jalan di tengah hari. Sesekali kendaraan bermotor melintas di hadapan kita dan menghasilkan deru mesin yang semakin samar menjauh. Apa yang kita rasakan adalah suasana tenang, apalagi ketika dedaunan kering albasia dan mahoni menghujani tubuh.
Situasi akan berbeda, saat kita, manusia modern di masa kini, duduk di pinggir jalan di bawah sebuah tiang listrik dengan pemandangan kabel-kabel yang melintang sembarangan di atas jalan, raung mesin kendaraan bersahutan dengan suara-suara klakson dan knalpot bising, udara panas memanggang. Apa yang kita rasakan? Sumpek dan pekak tentu saja.
Bagaimana mungkin dalam suasana panas dan sumpek akan lahir pikiran yang tenang dan jernih. Kondisi ini justru telah menjadi pemantik munculnya sikap arogan, agresif, mudah marah dan tersulut, rentan terhadap berbagai penyakit mental, mudah menyerah, dan gampang tertekan.
Kita –misalnya- pada tahun 80-an telah menginjak usia remaja dan memasuki masa pubertas. Kita berjalan bersama pasangan di pinggir jalan di bawah rapatnya pepohonan, senjakala menggurat emas, matahari sedang bersiap-siap memasuki peraduannya, gemawan ditembus oleh burung-burung berbaur dengan lelawa yang baru keluar dari persembunyiannya.
Apa yang kita rasakan? Alam sedang membangun suasana romantis, dampaknya akan dirasakan oleh kita bahwa jalinan hubungan kita dengan sang kekasih memang direstui oleh alam. Semua serbah indah.
Saya merasa perlu membahasakan kisah kenangan sepanjang Jalan Pelabuan II di masa lalu ketika akhir-akhir ini kita telah merasakan pemanasan global, bukan lagi merupakan isu yang sering digaungkan oleh para pecinta lingkungan. Orang-orang Sukabumi telah merasakan suhu rata-rata tertinggi yang sebelumnya ada di kisaran angka 16 sampai 21 derajat sekarang telah ada di angka 22 – 33 derajat celcius.
Orang-orang Sukabumi pada tahun 1980-an pergi ke toko penyedia perlengkapan rumah tangga, salah satunya untuk membeli selimut. Saat ini, dengan suhu rata-rata tertinggi di angka 33 derajat, saya pikir selimut sudah tidak lagi dibutuhkan saat kita tidur.
Akustik lingkungan yang hadir di masa kini adalah raung kendaraan bermotor yang tidak pernah mau berhenti. Suara knalpot sepeda motor memasuki gang-gang sempit sampai tengah malam, kualitas tidur manusia modern menurun drastis, produktivitas mengalami degradasi, dan tentu saja manusia modern harus membayarnya dengan harga yang cukup mahal: alam yang rusak berdampak pada rusaknya tatanan kehidupan. Berjejal saling kejarnya kendaraan bermotor di tengah jalan adalah refleksi dari mentalitas hidup manusia modern yang sulit mewujudkan ketenangan.
Sepanjang Jalan Pelabuan II sampai tahun 1990-an adalah lukisan ampiteater raksasa, adanya hubungan yang terawat antara alam dengan manusia. Kesadaran tentang situasi masa lalu dan harus hadir kembali di masa kini sudah semestinya dimasukkan ke dalam rencana pembangunan berkelanjutan oleh manusia Sukabumi modern saat ini.
Pembangunan yang benar-benar memperhatikan ketersediaan akustik lingkungan alamiah dari sekadar membangun infrastruktur yang kurang ramah apalagi merusak lingkungan.
Dimuat Radar Sukabumi, 11 Nov 2023
Satu artikel dengan judul “Sukabumi dalam Ingatanku” telah dimuat oleh harian Radar Sukabumi pada 22 Maret 2022. Artikel ini hanya menyajikan gambaran umum Sukabumi di masa lalu dan keinginan liar penulis agar setiap kenangan tentang Sukabumi sebaiknya dicatat oleh warga Sukabumi sendiri.
Dapat dibayangkan, jika setengah dari generasi baby boomers dan gen-X menulis kisah-kisah mengenai Sukabumi di masa lalu, kemudian dicetak dan dikodifikasikan menjadi buku, saat ini kita akan menyaksikan tumpukan kisah orang Sukabumi serupa dengan bangunan setinggi 5-7 lantai.
Mengembalikan masa lalu dan menghidupkannya kembali di masa kini, bagi saya pribadi, akan menghasilkan sebuah cermin kisah. Apalagi, pada dasarnya, perjalanan hidup manusia ternyata lebih didominasi oleh paparan kisah.
Manusia modern menulis status di media sosial, sebenarnya sedang mengisahkan situasi dan alam pikiran dirinya kepada orang lain. Entah sudah berapa juta kisah telah mewarnai kehidupan manusia sejak fajar sejarah umat manusia terbit dalam kehidupan ini. Tak terhitung tentu saja.
Mengisahkan Sukabumi selama dua periode dari tahun 1980-1990 tentu akan menghasilkan kisah yang kental dengan subjektivitas karena dinarasikan oleh saya sebagai salah seorang yang pernah menjadi bagian dari kisah era ini.
Walakin dari sisi pembaca, saya akan mencoba menarasikan kisah-kisah Sukabumi pada era tersebut seobjektif mungkin, agar terhindar dari bias dan kesan mengada-ada. Generasi 80 dan 90an akan menjadi penyeimbang dalam kisah-kisah yang akan saya tuturkan.
Kecamatan Baros sampai akhir tahun 1990 masih bagian dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi sebelum masuk menjadi daerah pemekaran Pemerintah Kota Madya Sukabumi. Wilayah perdesaan ini menjadi sendi antara daerah urban perkotaan dengan rural perdesaan.
Batas kota di sebelah barat ditandai oleh sebuah tugu di Jalan Pelabuan II, seberang SMP Negeri 3 Kota Sukabumi. Sepanjang jalan besar ini ditumbuhi oleh pohon albasia dan mahoni berukuran tinggi dan besar. Saat musim kemarau, dedaunan kering berjatuhan, berserakan di sepanjang jalan, menghujani siapa saja yang sedang berdiri atau berjalan di sana. Suasana ini akan mengingatkan kita pada kondisi Eropa di musim gugur.
Jika harus jujur, di awal pembentukan Sukabumi sebelah utara oleh Pemerintah Hindia Belanda, daerah ini memang diproyeksikan agar situasi dan kondisinya memiliki ciri khas yang mirip dengan Eropa. Orang-orang Belanda masa lalu telah berusaha membangun kota-kota tempat tinggal atau tujuan mereka harus serupa dengan kota-kota yang ada di negaranya.
Ini memang masuk akal, untuk membuat diri kita kerasan tinggal di suatu tempat, syarat mutlak yang harus dimunculkan dalam penataan wilayah adalah waruga atau wujud sebuah kota harus mirip dengan tempat asal. Suhu Sukabumi sebelah utara yang sejuk juga menjadi alasan bagi Belanda untuk membangun koloni di sana.
Urat nadi masa lalu Sukabumi mengalirkan genetika atraksi alam melalui jalan-jalan besar yang digunakan oleh manusia. Sepanjang Jalan Pelabuan II dari Odeon sampai Cikembar ditumbuhi oleh pohon-pohon albasia dan mahoni berukuran tinggi dan besar.
Keberadaan pohon-pohon ini telah menjadi penyangga ketersediaan udara bersih, berkualitas, dan menstabilkan suhu sepanjang Jalan Pelabuan II. Hampir tidak ada pengrusakan pepohonan oleh ulah tangan manusia. Sampai pertengahan tahun 90-an, saya tidak pernah melihat papan pengumuman dan reklame dipasang dengan cara dipaku pada batang-batang pohon albasia dan mahoni pinggir jalan.
Musim kemarau bukan masalah serius pada masa itu. Masyarakat yang tinggal di sebelah selatan Gunung Pangrango, menghampar dari lereng Gunung Parang hingga Sungai Cimandiri tidak pernah mengalami kekurangan pasokan air yang disediakan oleh alam.
Keberadaan pohon-pohon besar di sepanjang jalan dan pepohonan yang memadati lahan-lahan terbuka hijau telah membantu wilayah ini sebagai daerah yang berkelimpahan dengan sumber daya mineral: air.
Jumlah angkutan umum masih dapat dihitung dengan jari. Akustik lingkungan yang tercipta pada saat itu memiliki ciri khas, gemuruh mesin kendaraan bermotor hanya melintas sesaat saja. Dalam terminologi Sunda disebutkan suara-suara ini hanya terdengar “hawar-hawar”, samar dan terdengar semakin menjauh.
Pada pohon-pohon albasia dan mahoni sepanjang pinggir Jalan Pelabuan II, terdengar akustik yang dihasilkan oleh alam begitu khas: suara tonggeret. Suara ini menjadi sinyal, alam sedang memasuki musim kemarau dan akan berlangsung cukup panjang. Walakin, suhu tetap stabil, sejuk dan dingin. Rata-rata suhu harian saat itu ada di kisaran angka 16-20 derajat.
Ketersediaan akustik lingkungan seperti ini menjadi alasan, manusia saat itu tidak rentan terserang penyakit seperti yang dialami saat ini. Keberadaan pohon albasia dan mahoni sepanjang Jalan Pelabuan II selain menghasilkan suasana indah, juga berdampak pada hal penting bagi kehidupan manusia yang baru mulai memasuki era modern.
Pertama, penelitian Universitas British Columbia menyebutkan orang-orang yang tinggal di daerah yang memiliki akustik alam yang baik cenderung hidup dalam keadaan tenang dan terhindar dari stres, kualitas tidur yang lebih baik, dan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
Saya sedang membicarakan fakta masa lalu, sebuah keluarga sederhana dengan jumlah anggota keluarga empat orang, kendati saat makan bersama keluarga hanya mengonsumsi dua butir telur, namun mereka tetap menunjukkan rasa gembira. Ini adalah contoh betapa kebahagiaan hadir dalam keluarga ini.
Kedua, penelitian oleh Universitas Michigan, Amerika Serikat menyebutkan ketersediaan akustik lingkungan alam ketika memasuki diri manusia setiap 30 menit dalam sehari akan meningkatkan imunitas atau daya tahan tubuh dan mengurangi risiko penyakit jantung.
Kita akan mendapatkan dua hal berbeda. Bayangkan, tiba-tiba tubuh kita kembali ke tahun 1980-an, duduk di atas bangku panjang di bawah pohon albasia dan mahoni pinggir jalan di tengah hari. Sesekali kendaraan bermotor melintas di hadapan kita dan menghasilkan deru mesin yang semakin samar menjauh. Apa yang kita rasakan adalah suasana tenang, apalagi ketika dedaunan kering albasia dan mahoni menghujani tubuh.
Situasi akan berbeda, saat kita, manusia modern di masa kini, duduk di pinggir jalan di bawah sebuah tiang listrik dengan pemandangan kabel-kabel yang melintang sembarangan di atas jalan, raung mesin kendaraan bersahutan dengan suara-suara klakson dan knalpot bising, udara panas memanggang. Apa yang kita rasakan? Sumpek dan pekak tentu saja.
Bagaimana mungkin dalam suasana panas dan sumpek akan lahir pikiran yang tenang dan jernih. Kondisi ini justru telah menjadi pemantik munculnya sikap arogan, agresif, mudah marah dan tersulut, rentan terhadap berbagai penyakit mental, mudah menyerah, dan gampang tertekan.
Kita –misalnya- pada tahun 80-an telah menginjak usia remaja dan memasuki masa pubertas. Kita berjalan bersama pasangan di pinggir jalan di bawah rapatnya pepohonan, senjakala menggurat emas, matahari sedang bersiap-siap memasuki peraduannya, gemawan ditembus oleh burung-burung berbaur dengan lelawa yang baru keluar dari persembunyiannya.
Apa yang kita rasakan? Alam sedang membangun suasana romantis, dampaknya akan dirasakan oleh kita bahwa jalinan hubungan kita dengan sang kekasih memang direstui oleh alam. Semua serbah indah.
Saya merasa perlu membahasakan kisah kenangan sepanjang Jalan Pelabuan II di masa lalu ketika akhir-akhir ini kita telah merasakan pemanasan global, bukan lagi merupakan isu yang sering digaungkan oleh para pecinta lingkungan. Orang-orang Sukabumi telah merasakan suhu rata-rata tertinggi yang sebelumnya ada di kisaran angka 16 sampai 21 derajat sekarang telah ada di angka 22 – 33 derajat celcius.
Orang-orang Sukabumi pada tahun 1980-an pergi ke toko penyedia perlengkapan rumah tangga, salah satunya untuk membeli selimut. Saat ini, dengan suhu rata-rata tertinggi di angka 33 derajat, saya pikir selimut sudah tidak lagi dibutuhkan saat kita tidur.
Akustik lingkungan yang hadir di masa kini adalah raung kendaraan bermotor yang tidak pernah mau berhenti. Suara knalpot sepeda motor memasuki gang-gang sempit sampai tengah malam, kualitas tidur manusia modern menurun drastis, produktivitas mengalami degradasi, dan tentu saja manusia modern harus membayarnya dengan harga yang cukup mahal: alam yang rusak berdampak pada rusaknya tatanan kehidupan. Berjejal saling kejarnya kendaraan bermotor di tengah jalan adalah refleksi dari mentalitas hidup manusia modern yang sulit mewujudkan ketenangan.
Sepanjang Jalan Pelabuan II sampai tahun 1990-an adalah lukisan ampiteater raksasa, adanya hubungan yang terawat antara alam dengan manusia. Kesadaran tentang situasi masa lalu dan harus hadir kembali di masa kini sudah semestinya dimasukkan ke dalam rencana pembangunan berkelanjutan oleh manusia Sukabumi modern saat ini.
Pembangunan yang benar-benar memperhatikan ketersediaan akustik lingkungan alamiah dari sekadar membangun infrastruktur yang kurang ramah apalagi merusak lingkungan.
Dimuat Radar Sukabumi, 11 Nov 2023
Posting Komentar
Posting Komentar